Wednesday, June 2, 2010

Tak Usah Jauh-jauh Memerangi Korupsi: Mulailah Dari Dunia Pendidikan

Sekolah mencetak cendekiawan, tapi juga koruptor. Di banyak negara, institusi pendidikan justru disesaki oleh koruptor dan perilaku korup. Mengusir korupsi dari negeri bisa dimulai dari lingkungan terdekat anak muda: sekolah dan perguruan tinggi.

“Nilai jelek bisa dikatrol dengan menyuap guru, ijazah bisa dibeli... Bagaimana bisa generasi berikutnya bebas korupsi, kalau pendidiknya korup?” kata David Riveros Garcia, pemuda 19 tahun asal Paraguay, dalam Global Youth Anti-corruption Forum di Brussels, Belgia, Jumat (28/5) lalu.

Ia sadar betul korupsi adalah penyebab kemiskinan warga Paraguay, yang membuat ibunya dulu di umur tujuh tahun sampai harus memakan tanah karena kelaparan, yang memaksa ayahnya saat masih kecil harus menyemir sepatu demi mencari uang. “Karena itu saya melawan korupsi agar tidak ada lagi yang harus bernasib seperti mereka,” ujarnya penuh semangat.

Maka tahun 2008, pada tahun terakhirnya di Sekolah Menengah Atas, David memimpin empat ribu murid berdemonstrasi melawan korupsi yang marak di sekolah. Mereka mogok sekolah selama tiga minggu. “Kami dilabeli sebagai teroris, dan tentara menangkapi kami,” kata David.

David Riveros Garcia

Peserta demonstrasi dan mogok berangsur berkurang karena segala macam ancaman yang mereka terima. Dan satu hari, tiba-tiba David ditelepon Menteri Pendidikan. Sang Menteri mengatakan pemerintah akan menyelidiki sistem pendidikan di Paraguay.

“Dua tahun dari kejadian itu, tidak ada satupun pejabat yang ditindak. Tapi saya percaya kami tidak gagal. Kami berhasil membuka mata orang bahwa kami berbeda dengan generasi sebelumnya, kami tidak tinggal diam melihat korupsi terjadi,” ucapnya. David kini sibuk dengan organisasi Youth Change Reaction, yang mengajak anak muda aktif mendorong transparansi dan akuntabilitas sosial di lingkungannya.

Filipina memilih cara yang tidak sekonfrontatif David untuk membenahi dunia pendidikannya. Sebelum 2002, harga buku sekolah tergolong mahal, sekitar 120 peso (kurang lebih Rp 24 ribu) per eksemplar karena proses pengadaannya sangat panjang. Laporan korupsi pengadaan buku teks kerap dijumpai, dan Departemen Pendidikan dianggap sebagai lembaga terkorup di pemerintahan.

Departemen Pendidikan lantas bermitra dengan organisasi masyarakat sipil untuk membenahinya. Dengan teliti, buku sekolah diperiksa kualitas dan jumlahnya, serta dilacak pengirimannya.

"Kami melibatkan pandu (Pramuka) untuk memeriksa dan melacak buku," kata Marlon Cornelio, 25 tahun, pemuda dari Filipina yang aktif di Affiliated Network for Social Accountability in East Asia Pacific Youth.

Hasilnya, harga buku bisa ditekan hingga separuhnya, sedangkan kualitas cetakan terus membaik. Proses pengadaan buku kini hanya membutuhkan waktu 12 bulan, separuh dari 24 bulan yang diperlukan sebelum kerja sama ini dimulai.

Di Peru, ada Jorge Mori Valenzuela. Pria 28 tahun yang menjadi Direktur Universidad Coherente itu mendorong mahasiswa mengawasi pengelolaan universitasnya.

"Kami mempromosikan akuntabilitas pengelolaan universitas negeri. Kami membangun jaringan nasional kelompok pengawas universitas, dan berharap mahasiswa yang terlibat di dalamnya akan menjadi penggerak pembangunan sosial dan ekonomi Peru," ucapnya.

Organisasi yang digagasnya itu juga memiliki situs web mengenai pengelolaan 35 universitas negeri. Situs tersebut meraih nyaris seribu kunjungan (visits) per bulan.

Laurent Gabi WamboAdapun di Kamerun, Laurent Gabi Wambo, 44 tahun, dari RECAAD-Cameroon, membina sejumlah sekolah untuk menjadi pulau integritas. Artinya, meski sistem pendidikan secara keseluruhan masih korup, sekolah-sekolah itu memulai “hidup baru” dan mendeklarasikan diri sebagai institusi yang bersih.

“Semua tindak korupsi bakal diberi sanksi. Dulu guru bisa menjual nilai, tapi sekarang tidak lagi. Kami mendatangi murid-murid, melibatkan mereka, mengajak mereka berbicara tentang korupsi di sekolah,” ucap Laurent.

“Tiap laporan dari mereka ditindaklanjuti dengan sanksi agar ada efek jera,” ujarnya melanjutkan. Di salah satu sekolah, tak kurang dari empat guru dipecat karena terbukti korup.

Bagaimana dengan Indonesia?

Saya mencatat ada Dermawan Bakri, 19 tahun, yang pada tahun 2008 dengan kawan-kawannya di Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) membongkar korupsi di Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Surakarta, Jawa Tengah. Mereka mengumpulkan bukti penyelewengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah, yang tercium sejak lama namun tak pernah dilawan seniornya.

Film dokumenter “Sekolah Kami, Hidup Kami” besutan sutradara Steve Pillar Setiabudi menunjukkan Dermawan, Rio Satriawan, Agung Nurjito, dan sederet kawan lainnya mengorganisir tim untuk mengungkap kasus itu. Mereka menyeleksi ketat yang bisa bergabung dengan tim tak boleh punya konflik kepentingan: bukan kerabat guru atau kepala sekolah, tidak mengikuti les privat guru atau kepala sekolah, bukan pacar anak guru atau kepala sekolah.

Satu hari, tiba-tiba mereka menggelar demonstrasi di sekolah, memaksa Kepala Sekolah dan jajarannya menjawab cecaran pertanyaan mengenai anggaran sekolah. Murid menuntut audit menyeluruh dilakukan terhadap penggunaan dana sekolah.

Walikota Surakarta Joko Widodo akhirnya memerintahkan Badan Pengawas Daerah (Bawasda) menyelidiki SMAN 3. Bawasda telah menyatakan Kepala Sekolah bersalah melakukan korupsi, dan merekomendasikan pemecatannya.

Di level nasional, ada pula Koalisi Antikorupsi Pendidikan, terdiri dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat, yang aktif mengkritisi anggaran pendidikan. Koalisi ini menuntut sekolah memenuhi Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik dengan membuka data tentang pengelolaan anggaran.

Bunga Manggiasih
------------------
English translation available... soon.

No comments:

Post a Comment